Menu

Nyadran di Sombron: Doa, Palawija, dan Jejak Warisan Leluhur

Info.Sombron – Malam itu, balai Dusun Sombron perlahan dipenuhi warga. Di bawah cahaya lampu temaram, satu per satu mereka datang membawa hasil bumi: jagung, ketela, kacang, dan berbagai palawija lain. Ada yang menggendong bakul, ada pula yang memikul tenggok berisi hasil panen. Semua berkumpul dengan satu tujuan: mengikuti Nyadran, sebuah tradisi tua yang tak pernah absen dalam kalender budaya masyarakat Sombron.
Tradisi ini, menurut Kepala Dusun Sombron, Widodo, adalah momen penting untuk mendoakan para leluhur. Sejak dahulu, warga Sombron menjalankan Nyadran sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah mendahului, sekaligus ungkapan syukur atas hasil bumi yang diperoleh. “Kami selalu melakukan nyadran dalam bulan Apit kalender Jawa, sebelum tanggal 10,” ujar Widodo kepada Media Sombron, Kamis (01/05).
Tahun ini, ujub—atau niat doa yang dipanjatkan—bertema palawija. Widodo menjelaskan, dalam tradisi Sombron terdapat dua pola ujub yang bergantian setiap tahun: palawija yang mewakili tanah kering, dan sego (nasi) yang mewakili tanah basah. “Tahun ini palawija, tanah kering. Nanti tahun depan, sego, tanah basa,” terangnya.
Sekitar pukul 18.30, setelah salat Magrib, doa bersama dimulai. Suasana hening menyelimuti balai dusun. Suara ketua RW 02, Bakir, yang memimpin doa, terdengar khidmat. Dalam untaian doa itu terselip permohonan: semoga leluhur yang telah tiada mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, semoga hasil bumi tahun ini membawa berkah, dan semoga warga Sombron senantiasa diberi keselamatan.
Hadir dalam acara itu Kepala Desa Tlompakan, Sunardi. Dalam sambutannya, Sunardi memberikan apresiasi atas upaya warga Sombron yang konsisten menjaga tradisi. “Semoga tradisi ini tetap terawat sebagai salah satu warisan leluhur yang masih terjaga walaupun di tengah perkembangan zaman,” ungkapnya.
Namun Sunardi juga berpesan agar masyarakat dapat membedakan antara tradisi budaya dengan kepercayaan agama. “Saya harap pemahaman tentang agama jangan dimasukkan dalam tradisi nguri-uri kebudayaan. Sehingga tradisi dari leluhur tetap bisa terjaga dari generasi ke generasi,” pesannya bijak.
Nyadran di Sombron bukan sekadar ritual tahunan. Di balik untaian doa dan sajian palawija, tersimpan nilai-nilai kebersamaan, penghormatan, dan syukur. Tradisi ini mengajarkan warga untuk tidak melupakan akar, untuk tetap menengok ke belakang meski langkah menuju masa depan.
Generasi penerus perlu perlahan dikenalkan pada simbol-simbol tradisi: makna hasil bumi, arti doa bersama, dan pentingnya menjaga warisan budaya. Widodo berharap, dengan terus melibatkan generasi muda dalam tradisi, nyadran akan tetap hidup, bukan hanya dalam ritual, tetapi dalam hati masyarakat.
“Nyadran adalah warisan budaya tak benda yang harus dijaga. Kita ingin tradisi ini tetap ada, selamanya,” tutup Widodo dengan penuh harap.
Nyadran bukan hanya ritual, tetapi cermin kesadaran akan pentingnya menjaga hubungan dengan leluhur, alam, dan sesama manusia. Dari Sombron, pesan itu mengalir: bahwa budaya adalah jembatan dari masa lalu, untuk terus menuntun langkah menuju masa depan.***Red

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *