Menu

Kali Ringin: Jejak Beringin, Jejak Budaya di Pinggir Sombron

Info.Sombron – Sore itu, matahari pelan-pelan merendah di ufuk barat, menyebarkan cahaya keemasan di antara pepohonan dan hamparan sawah. Di ujung desa Sombron, Kepala Dusun Widodo melangkah pelan menyusuri pematang, mengajak kami menuju sebuah tempat yang mungkin tak semua orang tahu: Kali Ringin.

Dari jalur kecil yang membelah persawahan, suara gemericik air mulai terdengar samar. Tak lama, di balik semak dan rerumputan, tampak sebuah aliran kecil yang bersumber dari mata air alami. “Inilah Kali Ringin,” kata Widodo, sembari menunjuk ke arah aliran itu. Senin (05/05).

Airnya jernih, mengalir tenang. Di tepinya, hanya menyisakan beberapa akar pohon liar, tanpa tanda keberadaan beringin besar seperti namanya. Namun rupanya, nama “Kali Ringin” bukanlah tanpa alasan. Menurut kisah lama yang masih terpatri di ingatan warga, dahulu di dekat sumber mata air ini berdiri kokoh sebuah pohon beringin tua.

Cerita itu disampaikan Mbah Miko, salah satu sesepuh Dusun Sombron, kepada Media Sombron. “Dulu ada sebuah pohon beringin dekat mata air itu. Akhirnya dikenal warga dengan nama Kali Ringin,” tuturnya, matanya menerawang mengingat masa kecil.

Bukan hanya soal nama, Kali Ringin juga memiliki jejak sejarah lain. Mbah Miko menuturkan, dulu warga Dusun Tlompakan kerap datang ke Kali Ringin untuk melaksanakan ritual-ritual adat. “Seingat saya waktu kecil, warga Tlompakan sering menggunakan tempat itu untuk ritus-ritus,” kenangnya.

Kini, ritual itu sudah jarang terlihat. Pohon beringin pun sudah lama tumbang, menyisakan kenangan di benak para orang tua. Namun, bagi Kepala Dusun Widodo, keberadaan Kali Ringin tetaplah penting. Ia percaya, setiap mata air, setiap cerita, adalah warisan yang harus dirawat.

“Walaupun dulu biasa dipakai warga Tlompakan, sekarang sudah tidak digunakan. Tapi kami, warga Sombron, selalu merawatnya,” tegas Widodo.

Kali Ringin mungkin tak lagi menjadi pusat ritual, tapi bagi Widodo dan warga Sombron, keberadaannya tetap membawa makna. Airnya tetap mengalir, menjadi sumber kehidupan bagi sawah-sawah di sekitarnya. Dan meski pohon beringin tak lagi berdiri, jejaknya masih terasa dalam ingatan kolektif warga.

Widodo pun memiliki harapan: suatu saat, di tepi Kali Ringin itu, akan kembali berdiri pohon beringin baru. “Semoga ke depan ada perhatian untuk merawat Kali Ringin, salah satunya dengan penanaman pohon beringin,” ujarnya.

Baginya, pohon beringin bukan sekadar tumbuhan. Ia adalah simbol keabadian, perlindungan, dan kekuatan dalam

Kini, Kali Ringin tetap mengalir tenang di pinggir Sombron. Mungkin tak banyak yang tahu, tak banyak yang datang. Tapi bagi warga Sombron, ia adalah bagian dari narasi panjang kampung mereka—narasi tentang alam, manusia, dan kepercayaan yang saling terhubung.

Suatu hari nanti, ketika pohon beringin kembali tumbuh menaungi mata air itu, generasi baru mungkin akan duduk di bawahnya. Mendengar cerita tentang kebudayaan, tentang ritual-ritual lama, dan tentang bagaimana warga Sombron menjaga warisan mereka—setulus menjaga mata air yang tak pernah kering.

Karena setiap aliran air, setiap akar yang menancap di bumi, menyimpan doa, harapan, dan ingatan yang patut dirawat dari generasi ke generasi.***RED

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *