Info.Sombron – Saat langit masih menggantungkan kabut pagi dan embun belum sempat menguap dari dedaunan, suara kentongan bergema di sudut-sudut Dusun Sombron. Bukan pertanda bahaya. Bukan pula alarm dari zaman modern. Ini adalah bahasa lama, warisan leluhur yang masih hidup: panggilan untuk kerja bakti.
Seperti punya ikatan batin yang tak tertulis, warga satu per satu keluar dari rumah mereka, sebagian dengan cangkul di bahu, sebagian lagi membawa parang dan peralatan lainnya. Mereka menuju jalur kirab Merti Dusun — jalur yang kelak akan menjadi saksi arak-arakan budaya pada 3 Juni mendatang. Sebuah prosesi yang bukan hanya soal upacara, tetapi juga tentang identitas dan sejarah desa.
Hujan yang mengguyur semalam membuat jalur licin dan berat. Lumpur lengket mencengkeram sandal dan sepatu, menyulitkan setiap langkah. Tapi tidak ada yang mundur. Tidak ada keluhan. Hanya tawa, obrolan ringan, dan semangat yang terus mengalir dari satu titik kerja ke titik lainnya.
Jarman, Ketua Panitia Merti Dusun, terlihat sibuk memantau jalannya kerja bakti. Meski wajahnya dibalut keringat dan tanah, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. “Walaupun semalam hujan, tapi warga tetap membangun jalur. Ini bukti semangat gotong royong kami. Kami pastikan sebelum hari pelaksanaannya nanti, jalur sudah siap digunakan,” ujarnya kepada Media Sombron, Minggu (11/05).
Gotong royong bagi warga Sombron bukan sekadar kerja bersama. Ia adalah ruh dari kebersamaan itu sendiri. Tradisi ini telah melekat sejak zaman dahulu. Kentongan adalah simbol. Dan ketika kentongan dibunyikan, warga tahu: inilah waktunya untuk bergerak, bersama.

Widodo, Kepala Dusun Sombron, menyebut bahwa kerja bakti seperti ini bukan hanya soal persiapan fisik jalur kirab. Lebih dari itu, ini adalah bentuk nyata dari bagaimana nilai-nilai warisan leluhur dijaga dan dihidupi. “Tradisi gotong royong sudah ada sejak dahulu. Ketika kentongan dibunyikan, warga tahu itu adalah panggilan untuk kerja bakti. Ini cara kami menjaga budaya,” katanya.
Tak ada bayaran. Tak ada paksaan. Tapi justru dari situlah kekuatan gotong royong itu muncul. Dari kesadaran kolektif bahwa tradisi bukanlah benda mati yang dipajang saat perayaan, melainkan sesuatu yang harus dirawat dan dilibatkan dalam hidup sehari-hari.
Menjelang Merti Dusun, jalur kirab perlahan berubah. Dari tanah yang becek, menjadi jalan yang bersih dan layak dilalui. Tapi lebih dari itu, yang dibangun warga Sombron bukan sekadar jalur, melainkan jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Di tengah dunia yang serba cepat dan individualistis, Sombron memberi contoh bahwa suara kentongan dan semangat gotong royong belum mati. Ia masih hidup, berdetak bersama denyut nadi warganya, menjaga sebuah peradaban kecil yang kaya akan makna.***Red